23.02.24
By Dina Mehmedbegovic-Smith
Gambar di atas: Bersama para wisudawan di Universitas Udayana
Translated by: Ince Dian Aprilyani Azir
Tanggal 21 Februari diperingati sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Hari ini juga sekaligus memperingati lima pemuda yang kehilangan nyawa mereka saat berdemonstrasi di Universitas Dhaka, Bangladesh, pada tahun 1952. Dalam demonstrasi, mereka menyuarakan hak untuk belajar dalam bahasa ibu mereka, bahasa Bengali. Tanggal ini juga menandai pentingnya bahasa ibu untuk setiap orang baik anak-anak maupun orang dewasa. Memiliki sekolah, universitas, dan layanan publik dalam bahasa ibu sering kali dianggap remeh, terutama oleh komunitas minoritas yang hak-hak linguistiknya tidak pernah dipertanyakan. Hari Bahasa Ibu Internasional merupakan pengingat penting bahwa hak-hak mereka tersebut sering kali harus diperjuangkan walau terkadang harus melawan penindasan kuat dan dengan tangan kosong. Tidak sedikit pula, perjuangan harus melewati banyak prasangka, pengabaian, dan ketidakpedulian. Yang terpenting, pertarungan ini masih jauh dari kata selesai. Di bagian negara lain seperti di negara Timor Tengah, bahkan mereka yang bahasa ibunya digolongkan sebagai bahasa dunia, seperti bahasa juga masih terus berjuang melawan banyak hal baik yang terbuka maupun yang terselubung. Hal-hal yang dilawan tersebut bahkan dapat menyebabkan baik hilangnya bahasa pada tingkat individu maupun kepunahan bahasa pada tingkat regional dan global dalam jangka waktu yang pendek dan panjang di masa yang akan datang.
Gambar di atas: Bersama dekan, rekan-rekan dosen dan mahasiswa Universitas Mahasaraswati
Indonesia, salah satu negara dengan keanekaragaman bahasa terkaya di dunia saat ini nampaknya sedang berada pada masa kritis. Menurut Forum Ekonomi Dunia, Indonesia adalah salah satu negara paling multibahasa di dunia. Dengan 711 bahasa yang terdaftar secara resmi, negara ini menduduki peringkat kedua sebagai tempat lahirnya keanekaragaman bahasa dan budaya (Negara-negara ini memiliki keanekaragaman bahasa tertinggi di dunia | World Economic Forum (weforum.org). Seperti yang dikatakan Ewing (2014): ‘10% bahasa dunia digunakan di negara yang hanya mencakup 3,5% populasi dunia’. Belum lama ini, pada abad ke-20, Indonesia bahkan lebih beragam, dengan jumlah lebih dari 1000 bahasa. Namun, menurut para peneliti, dengan memperhatikan pola penurunan keragaman bahasa di Indonesia, memprediksi bahwa dalam kurun waktu 100 tahun ke depan hanya akan ada 50 bahasa lokal di Indonesia yang akan bertahan (Chon dan Abtahian, 2017). Multamia (2015) melaporkan hampir 10 tahun terkait 25 bahasa lokal di Indonesia yang berada di ambang kepunahan. Bahkan penelitiannya juga mengidentifikasi bahasa-bahasa yang sudah tidak aktif. Maksudnya: ”Bahasa-bahasa tersebut masih ada tetapi tidak digunakan untuk komunikasi sehari-hari. Bahasa-bahasa tersebut tidak lagi mempunyai penutur, namun masih digunakan sebagai identitas masyarakat dan upacara adat.’’ Berikut bahasa-bahasa yang terdaftar sebagai bahasa yang tidak aktif: Dusner, Iha, Javindo, Kayeli, Nusa Laut, Onin dan Tandia.
Selama kunjungan saya ke Bali pada bulan Oktober 2023, saya melaksanakan konsultasi selama seminggu dengan sivitas akademika di empat universitas terkemuka di Bali: Universitas Udayana, Universitas Warmadewa, Universitas Dhyana Pura, dan Universitas Mahasaraswati. Saya menemukan bahwa bahasa Bali juga merupakan bahasa daerah yang sedang menuju menjadi bahasa yang tidak aktif. Dalam konsultasi yang saya laksanakan, para mahasiswa merefleksikan pengalaman mereka menghadapi semakin berkurangnya penggunaan bahasa Bali dalam kehidupan sehari-hari. Refleksi seorang mahasiswa cukup menjelaskan inti permasalahan yang sebenarnya: “Saya merasa kehilangan pada diri saya sendiri.” Saat mengejar gelar sarjana dalam bidang Bahasa Inggris, dia mengungkapkan rasa emosionalnya saat menyaksikan kemahirannya dalam bahasa Bali semakin berkurang. Kesulitannya mengartikulasikan pemikirannya dalam bahasa Bali, dia seringkali menggunakan bahasa Indonesia atau Inggris. Kondisi ini membuatnya merasa kehilangan hubungan yang mendalam dengan identitas budayanya. Perasaan ini juga dirasakan oleh teman-teman di kampusnya. Mereka sama-sama khawatir akan kehilangan warisan budaya dan bahasa Bali mereka.
David Crystal (2002) salah satu pakar bahasa terkemuka terutama dalam bidang riset terkait hilangnya bahasa dan kematian bahasa memprediksi 90% dari 7000 bahasa di dunia terancam punah. Bahkan ada satu bahasa yang hilang di setiap dua minggu. Prediksi ini sekilas nampak mustahil. Namun, berkaca pada proyeksi masa depan Indonesia dimana hanya aka nada 50 bahasa yang akan bertahan (Cohn dan Abtahian, 2017). Hal ini berarti Indonesia akan kehilangan lebih dari 90% bahasanya, ini contoh yang sesuai dengan apa yang diproyeksikan secara global oleh Crystal. Prediksi tersebut menjadi latar belakang pentingnya untuk mengadakan penelitian sebagai langkah pencegahan hilangnya bahasa dan kematian bahasa di Indonesia. Lebih jauh, Collins (2022) menggambarkan kematian bahasa daerah di Indonesia sebagai ‘pandemi sosiokultural’. Berdasarkan pengamatan yang saya selama di Bali, pandemi sosiokultural ini akan terjadi dengan paksaan secara diam-diam. Kontribusinya berasal orang tua dan pendidik yang mana mereka melaporkan bahwa semua anak memiliki pemahaman yang sama bahwa nilai mata pelajaran Bahasa Bali tidak dianggap penting. Mata pelajaran Bahasa Bali ini diajarkan sekali seminggu di pendidikan dasar. Bahkan semua mahasiswa yang konsultasi dengan saya sepakat berujar bahwa ‘Tidak masalah jika kamu gagal di ujian mata pelajaran Bahasa Bali karena Bahasa Bali tidak penting di sekolah’.
Gambar di atas: Bersama sivitas akademika Universitas Warmadewa
Para peneliti yang telah meneliti faktor-faktor yang berdampak pada hilangnya dan kematian bahasa di Indonesia melaporkan bahwa yang paling penting bukanlah jumlah penuturnya (sebuah variabel yang tidak diragukan lagi memainkan peran sentral dalam banyak diskusi tentang hilangnya bahasa), namun kurangnya transmisi antargenerasi. Orang tua tidak mengajari anaknya bahasa daerah, melainkan fokus pada Bahasa Indonesia dan Inggris. Bahkan para ahli bahasa dan pendidik di instansi pendidikan juga tidak ikut mewariskan bahasa daerah mereka kepada anak-anak mereka sendiri, seperti yang dilaporkan oleh Cohn (ibid) dan dikonfirmasi dalam konsultasi yang saya lakukan sendiri. Bahkan, seorang kolega dosen yang juga seorang pakar bahasa menuturkan bahwa anak-anaknya kadang-kadang mencoba berbicara kepadanya dalam bahasa Bali. Akan tetapi, dia menganggap pengucapan kata-kata dalam Bahasa Bali yang dituturkan oleh anak-anaknya sangat lucu hingga membuatnya tertawa. Hal ini menunjukkan pentingnya upaya untuk meningkatkan kesadaran akan nilai bahasa daerah dengan pelibatan peran orang tua dan pendidik. Mereka seharusnya mengikutsertakan bahasa Bali dalam proses belajar mengajar dan aktivitas sehari-hari untuk menghentikan kemerosotan bahasa Bali agar tidak punah atau hilang di masa depan.
Saat ini, saya sedang mencari kemungkinan jalur pendanaan yang dapat memfasilitasi pengembangan strategi regional sebagai upaya penyelamatan bahasa Bali berdasarkan kerangka Diet Linguistik yang Sehat. Saya siap untuk mengeksplorasi berbagai kemungkinan dalam mencegah hilangnya bahasa Bali sebagai bahasa ibu generasi sekarang dan masa depan di Bali.
Gambar di atas: Bersama rekan-rekan dan mahasiswa Universitas Dhyana Pura
Cohn, A. C., & Abtahian, M. R. (2017) Big Languages aren’t (Necessarily) Safe: Language Shift in the Major Languages of Indonesia. In International Seminar on Sociolinguistics and Dialectology (pp. 1-7).
Collins, J. T. (2022) Language Death in Indonesia: A Sociocultural Pandemic. Linguistik Indonesia, 40(2), 141–164.
Crystal, D. (2002) Language Death. Cambridge University Press.
Ewing, M. C. (2014) Language endangerment in Indonesia. International Journal of Education, 8(1), 12-22.
Multamia R.M.T.L. 25 Local Languages in Indonesia Almost Extinct, Expert says – Life En.tempo.co
World Economic Forum. (2023, April 27) The world’s most multilingual countries. World Economic Forum.
https://www.weforum.org/agenda/2023/04/worlds-most-multilingualcountries
23.02.24
Gambar di atas: Bersama para wisudawan di Universitas Udayana Translated by: Ince Dian Aprilyani Azir Tanggal More
23.02.24
Gambar ring baduur: Sareng lulusan Universitas Udayana Translated by: Ni Putu Sri Suci Artini Asih and More
21.02.24
Image above: With the graduates at University of Udayana On February 21st we mark the UN More
18.12.23
Image above left: Thomas giving a keynote at the first International Conference on Language Development and Assessment More